Monday, April 25, 2016

Alat Dan Tujuan Thaharah (Bersuci)

BAB THAHARAH  (BERSUCI)
Thaharah dalam bahasa arab artinya Bersuci atau kebersihan dan dalam ilmu fiqih adalah mengangkat atau menghilangkan hadats dan menghilangkan najis dari tubuh, pakaian, dan tempat
Alat Thaharah (Bersuci)
Alat thaharah (Bersuci) ada 4 macam:



  1. Air
  1. Tanah / Debu (Sha'id)
  1. Batu
  1. Penyamak
  1. Wudlu
  1. Mandi
  1. Tayammum
  1. Menghilangkan Najis
  1. Air Langit (Air Hujan)\
  1. Air laut (Meskipun air itu telah menguning karena akan menjadi garam)
  1. Air Sungai (Meskipun Air itu menguning karena bercampur dengan debu/tanah)
  1. Air Sumur (Meskipun berwarna kuning dan mengandung garam terasa asin dan pahit, asalkan masih di sebut air dan tidak di sebut minyak)
  1. Air Sumber / Mata Air (Meskipun Air itu hangat, panas, berbau belirang atau berbau kapur)
  1. Air Salju / Air Es
  1. Air Embun
  • Air Musta'mal yaitu air bekas di gunakan untuk bersuci
  • Air suci tapi berubah sifatnya
  • Air Yang banyak (lebih dari dua qullah) adalah : Air yang jumlahnya lebih dari 216 liter
  • Air sedikit (kurang dari dua Qullah) adalah : Air yang kurang dari 216 liter
Cara Thaharah (Bersuci)
Cara thaharah (bersuci) ada 4
Bahasan / Pembagian Air
Macam macam Air :
''Air yang dapat di pergunakan untuk berthaharah (Bersuci), Baik dari hadast Atau dari Najis itu ada tujuh (7) Macam

Sedangkan Pembagiannya Air terbagi Menjadi Empat(4) bagian (ini menurut madzhab Imam Syafi'i)

1. Air Mutlak (Air yang thahur)

Yaitu : Air yang suci dan mensucikan, Air yang masih murni dan tidak di pengaruhi apapun kecuali pengaruh tempat atau Air yang bebas dari segala macam ikatan dan campuran. 
itulah Air yang suci dan mensucikan, contohnya air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air(sumber), air salju, air embun.
Allah berfirman:
وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً طَهُوراً – الفرقان﴿٤٨﴾
Artinya: “dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih” (Qs al-Furqan ayat: 48)
عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سُئِلَ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ مَاءِ البَحْرِ فَقَالَ: هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ، اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ (حسن صحيح ، الترمذي وغيره)
Dari Abu Hurairah ra, ketika Rasulallah saw ditanya tentang air laut beliau bersabda “Ia suci dan bangkainya halal” (HR at-Tirmidzi dll- hadits hasan shahih)

2. Air thahur wa makruh (Air Suci mensucikan tapi Makruh di gunakan)
yaitu : Air yang suci dan mensucikan tapi makruh untuk di gunakan bersuci, Air tersebut adalah Air yang terjemur (air yang disimpan di dalam bejana atau wadah terbuat dari logam (bukan emas dan perak), terjemur di terik matahari yang sangat panas). Hukumnya suci dan mensucikan tapi makruh untuk dipakai berwudu’ dan mandi semasih air itu panas, dan tidak makruh jika dipakai untuk mencuci. Karena disangsikan bisa menimbulkan penyakit sopak atau belang jika di pakai untuk berwudu' atau mandi.
عَنِ الحَسَن بْنِ عَلِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ (حسن صحيح الترمذي والنسائي)
Dari Hasan Bin Ali ra, Rasulallah saw bersabda:”Tinggalkan apa apa yang meragukan kepada yang tidak meragukan” (HR at-Tirmidzi – an-Nasai – hadits hasan shahih)
Memakai air yang terjemur panas untuk berwudhu’ dan mandi merupakan hal yang diragukan yaitu bisa menimbulkan penyakit sopak. Begitu pula menggunakan air yang terlalu panas dan terlalu dingin hukumnya makruh untuk berwudhu’ dan mandi karena tidak bisa diresapkan ke anggota tubuh dan tidak bisa sempurna wudhu’ dan mandi seseorang.
3. Air Thahiir (Air suci tapi tidak mensucikan)

Yaitu : Air yang suci tapi tidak mensucikan, dan air ini tidak bisa di gunakan untuk berwudhu' ataupun mandi, dan air ini di bagi menjadi dua (2) 




air bekas dipakai untuk berwudhu’ dan mandi. Air ini masih di anggap suci selama setelah digunakan tidak berobah warna dan bentuknya dan tidak bertambah pula banyaknya.  Hukumnya suci tapi tidak mensucikan. Hukum ini diterapkan karena belum pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat Nabi saw mengumpulkan air bekas dipakai wudhu’ atau mandi dalam perjalanan mereka untuk digunakan kembali sedang mereka sangat membutuhkanya.


Yaitu air suci yang sudah berubah sifat aslinya di karenakan terpengaruh atau tercampur oleh benda suci lainnya . misalnya : air teh, air kopi dan lain lain.
Air ini Hukumnya suci tapi tidak mensucikan. Adapun air yang berobah karena bercampur dengan sedikit dari benda suci dan tidak merobah nama air tersebut,  maka hukumnya suci dan menyucikan, boleh digunakan untuk berwudhu karena Nabi saw pernah berwudhu dengan air dari wadah yang masih terdapat bekas serbuk tepung. Begitu pula air yang berubah warnanya karena bercampur lumut, tanah merah, dan daun2an hukumnya suci dan mensucikan karena kesulitan terhindarnya dari semua itu.
4. Air Mutanajis (Air Najis)
Air najis ialah air yang sudah terkena najis, dan air ini tidak suci dan tidak mensucikan, tidak boleh di gunakan untuk bersuci (wudhu', mandi, mencuci).
Jika air itu sedikit jumlahnya yaitu kurang dari qullatain (dua Qullah) maka hukumnya menjadi najis tanpa syarat, tapi jika air itu banyak yaitu lebih dari dua qullah maka hukumnya tidak najis kecuali jika air itu berubah warna, rasa dan baunya.
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ خَبَثًا (حديث حسن الشافعي و الترمذي وغيرهما)
Dari Ubaidillah bin Abdullah bin Umar ra, Rasulallah saw bersabda; “Jika air telah mencapai dua qullah, tidak membawa najis (HR Syafi’i, at-Tirmidhi dll – hadits hasan).
Ada beberapa najis yang dimaafkan yaitu najis yang tidak bisa dilihat oleh mata, seperti asap dan uap yang keluar dari benda yang najis atau menajiskan, sedikit dari bulu binatang yang najis dan debu dari pupuk kotoran binatang. Semua najis ini dimaafkan karena kesulitan untuk menghidarinya. Begitu pula dimaafkan bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya seperti lalat, nyamuk dsb.
عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ،  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي الْآخَرِ دَاءً (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulallah saw bersabda: “Jika jatuh seekor lalat pada minuman kalian maka celupkanlah seluruhnya lalu angkatlah, karena di salah satu sayapnya terdapat penyembuhan dan pada sayap yang satunya terdapat penyakit.” (HR Bukhari)

** Keterangan (Ta'liq) :



Perubahan Air Yang Diperkirakan 
Yaitu air yang berobah karena kejatuhan sesuatu  yang tidak bisa dilihat oleh mata, maka hukumnya sensitif bisa diperkirakan dengan sifat air yang bercampur dengan benda trb. Jika air itu kejatuhan sesuatu benda yang sifat-sifatnya sesuai dengan air, maka diperkirakan dengan seringan ringannya sifat, seperti rasa delima atau bau kuping atau warna jus. Maka air ini dikatagorikan suci dan mensucikan, boleh digunakan untuk berwudhu. Tapi jika air kejatuhan sesuatu benda yang diperkirakan najis maka diperkirakan dengan seberat-beratnya sifat, seperti warna tinta, bau minyak misik, atau rasa cuka (rasanya asam). Maka air tsb dikatagorikan najis dan tidak boleh digunakan untuk berwudhu.
Hukum Bejana Emas dan Perak
Telah diketahui bahwa seluruh bejana boleh kita gunakan baik itu untuk makan, minum ataupun untuk selainnya, kecuali bejana yang terbuat dari emas dan perak.
عَنْ حُذَيْفَة بِنْ اليَمَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ اَلذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ , وَلا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي اَلدُّنْيَا , وَلَكُمْ فِي اَلآخِرَةِ (رواه الشيخان)
Dari Hudzaifah bin Yaman ra, telah ditetapkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian minum dari bejana emas dan perak dan jangan pula kalian makan dari piring-piring emas dan perak. Sesungguhnya keduanya bagi mereka (orang kafir) di dunia, dan bagi kalian di akhirat.” (HR Bukhari Muslim)
Hadits ini secara jelas menegaskan larangan penggunaan bejana dari emas dan perak untuk makan dan minum, meskipun jenis makanan dan minumannya adalah halal, namun jika ditempatkan di wadah yang terbuat dari emas dan perak, maka makanan dan minuman tersebut haram untuk dimakan dan diminum. Apabila makanan dan minuman tersebut dipindah ke wadah lain yang tidak terbuat dari emas ataupun perak, maka hukumnya berubah kembali menjadi halal untuk dimakan dan diminum.
Berlainan dengan pemasangan gigi palsu dengan mengunakan emas dan perak atau operasi anggota tubuh dengan menggunakan logam mulia, ini dibolehkan dalam agama. Hal ini karena kebutuhan manusia terhadap kesehatan.
Operasi semacam ini dengan menggunakan bahan atau logam sudah dikenal di masa Nabi saw, sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Daud, At-tirmidzi dan An-nasai dengan sanad jayyid (baik) yang mengisahkan:
لِمَا رُوِىَ أَنَّ عَرْفَجَة ابْنِ سَعْدٍ أُصِيْبَ أَنْفُهُ يَومَ الكُلَابِ فِي الجَاهِلِيَّةِ فَاتَّخَذَ أَنْفـًا مِن وَرِقٍ ، فَأَنتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النبيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أََنْْ يَتَّخِذَ أَنفًا مِن ذَهَبٍ (حديث حسن أبو داود والترمذي والنسائي باسناد جيد)
Diriwayatkan bahwa ‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab zaman Jahiliyyah, lalu ia memasang hidung (palsu) dari perak, namun hidung tersebut justru mulai membusuk, maka Nabi saw menyuruhnya untuk memasang hidung palsu dari bahan emas. (HR. Abu Daud, At-tirmidzi, An-nasai, hadits hasan dengan sanad baik)
Hukum Emas dan sutera
Emas dalam bentuk apapun, dalam berbagai warna hukumnya adalah haram bagi laki-laki. Meskipun seandainya emas itu dijadikan sepuhan untuk bahan lain, maka hukumnya tetap haram. Sebab nama emas tetap saja terdapat meski kadarnya berkurang.
Diriwayatkan Rasulallah saw pernah mengambil sutera, lalu beliau letakkan di tangan kanannya dan mengambil emas lalu beliau letakkan pada tangan kirinya, kemudian beliau bersabda:
عَنْ أَبِي مُوْسَى الأَشْعَرِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : حُرِّمَ لِبَاسُ الحَرِيْرِ وَالذَهَبِ عَلَى ذُكُوْرِ أُمّتِي و أُحِلَّ لإِنَاثِهِمْ  (حسن صحيح الترمذي وغيره)
Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, Rasulallah saw bersabda: “Diharamkan sutera dan emas untuk dikenakan oleh kaum laki-laki dari kalangan umatku dan halal bagi perempuannya.” (HR Tirmidzi dll, hadits hasan)
Jika penggunaanya sedikit untuk keperluan hukumya tidak haram (dibolehkan). Hal ini sesuai dengan hadits,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ قَدَحَ النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ اِنْكَسَرَ فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشِّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ (حديث حسن أبو داود و الترمذي)
Dari Anas ra, sesungguhnya periuk Nabi saw pecah, lalu beliau mengambil rantai perak (untuk menambal) tempat yang pecah itu. (HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan)
Jika penggunaanya sedikit untuk perhiasan hukumnya makruh. Hal ini sesuai dengan hadits,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَتْ نَعْلُ سَيْفِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّةٍ وَقَبِيْعَةُ سَيْفِهِ فِضَّة وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ حَلَقُ الفِضَّةِ (حديث حسن أبو داود و الترمذي)
Dari Anas ra, sesungguhnya sarung pedang Rasulullah saw adalah dari perak, pegangannya juga dari perak dan di antaranya itu lingkaran perak.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan)
Jika penggunaanya banyak untuk keperluan hukumnya makruh dan jika penggunaanya banyak untuk perhiasan hukumya haram. Hal ini sesuai dengan hadits,
لِمَا رُوِىَ كَانَ ابنُ عُمَر لاَ يَشْرَبُ فِي قَدَحٍ فِيْهِ حَلَقَةُ فِضَّةٍ وَ لاَ ضَبَّةُ فِضَّةٍ (رواه الشيخان)
Diriwayatkan: sesungguhnya Ibnu Umar ra tidak mau minum dari bejana yang lingkaran dan tambalannya dari perak (HR Bukhari Muslim)
Namun benda yang disepuh dengan warna emas, tidak bisa dikatakan sebagai emas. Sehingga tidak menjadi masalah bila seorang laki-laki menggunakan pakaian atau perlengkapan imitasi emas. Hukumnya tidak haram, sebab kenyataannya memang bukan emas, melainkan hanya rupa dan warnanya saja.  Yang haram adalah emas, bukan yang mirip emas.
Comments
0 Comments

No comments :

Post a Comment